Friday, May 13, 2016

Kenapa Saya Harus Menuntut Orang Lain Untuk Mengubah Hidupnya? Simak Kisah Umar Bin Khaththab

HarianMuslim.Net Setiap selesai membaca kisah Umar bin Khaththab radiyallaahu 'anhu, selalu muncul kekaguman terhadap kesederhanaan beliau. Bagaimana tidak, pemimpin negara yang berhasil menaklukkan negara super power Romawi, ternyata hidupnya sangat jauh dari kemewahan. Tidur siang di pelataran masjid, pergi ke mana-mana tanpa pengawalan, pakaiannya sangat sederhana, makanannya sama dengan makanan orang-orang miskin di negaranya. Bahkan beliau tidak mau makan atau menerima sesuatu yang tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya. 
Dalam suatu kesempatan Umar mendapat roti yang enak. Sebelum memakannya Umar bertanya apakah rakyatnya juga makan roti seperti itu. Setelah tahu kalau roti tersebut hanya bisa dinikmati kalangan tertentu saja, Umar tidak mau memakannya.
  
Saya – bahkan kita semua – tentu sangat berharap pemimpin negeri ini mau bersikap lebih sederhana – tak usahlah berharap meniru perikehidupan Umar seutuhnya. Kalau itu terjadi akan banyak dana penghematan yang bisa kita manfaatkan untuk kepentingan rakyat. Dalam kondisi serba sulit seperti sekarang ini – terutama akibat pengaruh krisis global – rakyat tentu butuh banyak bantuan. Daftar penduduk miskin terus bertambah. Sampai di sini renungan saya terhenti. Kenapa saya harus menuntut orang lain untuk mengubah hidupnya? Bagaimana dengan saya?
Ingatan saya tertuju pada sebuah peristiwa. Beberapa hari yang lalu ada seseorang yang datang ke rumah dan memberi kami beberapa kilogram beras. Saya sangat senang, lumayan mengurangi pengeluaran. Namun pada saat dimasak ternyata berasnya lain dari yang biasa kami makan. Hasilnya sangat lembek dan rasanya hambar. Mulanya saya pikir karena terlalu banyak air, tapi setelah mencoba beberapa kali dengan air yang dikurangi, hasilnya tetap sama. Sebenarnya kami tidak terlalu mempersalahkan bentuk nasi yang menyerupai bubur, hanya saja kami tak terbiasa dengan nasi yang tidak ada rasanya. Akhirnya beras tersebut kami berikan lagi pada orang lain.
Kejadian ini menyadarkan saya bahwa sebenarnya selama ini kami terbiasa hidup enak. Bukankah beras tersebut tetap bisa dimakan walaupun rasanya lain dari yang biasa kami makan? Betapa beruntungnya saya masih bisa makan tiga kali sehari, sementara di luar sana banyak orang yang untuk makan saja sulit.
Soal beras tadi hanya salah satu contoh. Dalam keseharian, akuilah, kadang-kadang sebagian dari kita tidak terbiasa dengan benda-benda sederhana. Mulai dari makanan, sepatu, tas, televisi, telepon genggam, jam tangan dan hal lain yang akrab dengan kehidupan kita, kadang kita mmbeli yang di atas standar rata-rata. Kita lebih mementingkan fashion daripada function. Padahal makanan yang mahal belum tentu memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, telepon genggam yang fasilitasnya lengkap belum tentu semua fasilitasnya kita butuhkan. Lalu kita punya banyak tas dan sepatu banyak yang disesuaikan dengan acara dan busana yang kita kenakan, belum lagi baju dan kerudung yang sudah banyak tapi terus saja kita beli.
Saya akui ternyata tidaklah mudah untuk hidup sederhana di saat kita mampu untuk hidup lebih. Kita yang rakyat biasa, tanpa kedudukan dan fasilitas apapun kadang enggan menurunkan standar kehidupan, apalagi para pejabat  atau – berkaitan dengan nuansa Pemilu saat ini – anggota legislatif yang punya kedudukan dan fasilitas yang serba memadai, tentu jauh lebih sulit lagi. Tapi, tentu saja itu bukan berarti kita semua tunduk pada keadaan dan tarikan hawa nafsu. Umar yang sebelum masuk Islam begitu jahilnya saja bisa mengekang nafsunya, lalu hidup dalam kebersahajaan, semestinya kita pun sanggup melakukan itu pula.

No comments:

Post a Comment